Minggu, 17 April 2022

Tidak Banyak Ikan Untuk Kucing yang Tidak Lapar

Kucing tidak lapar.

Kucing pun tidak makan.

Sebanyak apapun ikan.

Tidak akan kucing merasa puas.

Karena kucing tidak lapar.

Lalu ia memilih untuk tidak makan.

Sebanyak apapun ikan.

Bahkan di samudera luas.

Ia tetap tidak punya rasa.

Bagi banyaknya manusia di dunia.

Makanya sedikit yang tersedia.

Bagi kucing yang tidak lapar.


17/4/2022 11:24

Rabu, 01 Mei 2019

Ini Bukan Masalah, Masalah Ini Bukan 2

Kehidupan perantuan ini mengejutkan.

Saya tidak merencanakan apapun dengan kehidupan perantauan ini. Pun saya tidak membayangkan akan berkuliah di luar kota. Yang saya tahu saat itu, saya akan kuliah di kota kelahiran saya sendiri. Tetapi rencana saya bukanlah rencana terbaik yang Tuhan miliki. Tuhan memiliki rencana yang lebih menantang bagi saya, yang lebih baik, dan lebih menarik. Bagi saya yang mudah untuk diprovokator, berdarah panas, saya terima tantangan ini. Berangkatlah saya ke kota perantauan saya, Malang.

Sebelum saya menetap di Malang, saya Bersama keluarga saya berangkat dahulu ke Malang untuk mencari kos-kosan dan melihat situasi dan kondisi di Malang. Bagaimana rute saya ke kampus, mencari spot-spot penting seperti apotek, warung, mini market, pom bensin, dan lain-lain. Selain itu saya juga mengunjungi calon kampus saya saat itu, FISIP UB. Setelah saya menemukan kos-kosan yang dirasa masuk di kantong dan menurut saya sendiri nyaman, kos itulah yang nanti akan menjadi rumah kedua.

Pulang kami Jogja saya gunakan untuk melegawakan hati. Bertemu dengan kawan-kawan, bertemu dengan guru-guru, bercengkrama dengan keluarga dan kucing-kucing saya, juga packing barang-barang untuk pindah. Hari keberangkatan pun tiba. Saat itu, ibu saya sedang tidak berada di Jogja. Saya diantar oleh ayah dan kakak ke Stasiun Tugu Jogjakarta. Sampai situ pun kami tidak banyak berbasa-basi, saya langsung diantarkan ke gerbang Utama dan turun setelah berpamitan. Hati saya seperti hampa. Saya masih merasa, "Oh, nanti saya juga akan pulang.". Tapi ketika kereta melaju, saya baru sadar. Tantangan ini resmi dimulai.

Sesampainya di Stasiun Malang, saya dijemput oleh mbak kos saya, Disitu saya masih merasa linglung, saya berpikir bahwa ini belum nyata. Setelah sampai di kos, saya masuk ke dalam kamar. Kamar yang masih merasa kosong karena belum semua barang ditata dan dibereskan. Saya merenung di kamar. Antara ingin menangis karena sepi, tetapi juga mau apa lagi ini sudah terjadi. Hati saya merasa masih belum ikhlas untuk menjalani. Tetapi satu hal yang saya ingat, keluarga. Saya tidak akan menyelesaikan apapun, saya tidak akan pulang, saya tidak akan cepat selesai kalua saya tidak bangkit. Saya pun tidur sejenak dan kemudian bergegas bangun untuk beraktivitas.

-to be continued....

Rabu, 24 April 2019

Masalah Itu Bukan, Ini Bukan Masalah

Juli 2018, bulan dimana kehidupan saya berubah. 

Saya bukan seperti teman saya yang lain, seorang pekerja keras dalam hal belajar dan mencapai cita-cita. Saya bukan seperti teman saya yang lain, punya tujuan jelas dan tahu ingin menjadi apa. Saya bukan seperti teman saya yang lain, yang punya rencana kedepan dan berusaha dengan sekuat tenaga. Saya adalah saya. Seorang perempuan yang hanya mengandalkan keberuntungan dan pengetahuan yang seadanya.

Setelah saya, yang bahkan tidak masuk dalam seleksi SNMPTN 2018, gagal dalam SBMPTN 2018 dan tidak lulus ujian mandiri sebuah universitas, saya menjadi berpikir. Apa yang salah? Yang salah ternyata saya. Saya yang salah. Tidak berusaha, tidak memiliki target, tidak berdoa dengan keras, dan tidak memiliki niat. Awalnya saya menangis, dengan keras, menyesali apa yang sudah tidak bisa diperbuat lagi. Namun saya berpikir, saya memang salah. Bukan sesuatu yang pantas untuk ditangisi, dimana saya harusnya merasa malu. Ditolak hanya dua kali, apakah disitu saya harus merasa gagal? 

Tetapi itu terbayar sudah. Juli 2018, saya mencoba untuk mendaftar Seleksi Mandiri Universitas Brawijaya 2018. Seleksi Mandiri Universitas Brawijaya 2018 menggunakan data nilai yang diperoleh pada SBMPTN 2018. Disitu saya sudah pasrah, dengan pilihan nomor satu Hubungan Internasional dan nomor dua Psikologi. Saya tidak berpikir untuk memiliki ambisi yang kuat pada saat itu. Saya hanya merasa pasrah.

Kemudian pada suatu siang di Juli 2018, ada pengumuman bahwa hasil Seleksi Mandiri sudah dapat diakses. Ternyata jadwal pengumuman hasil dimajukan. Saya tidak ada persiapan apapun untuk mengakses hasil Seleksi Mandiri, yang walaupun sebenarnya tidak membutuhkan persiapan apapun yang berarti. Karena pada saat saya mendaftar Seleksi Mandiri dengan keadaan hati yang pasrah, saya pun langsung membuka website pengumuman hasil Seleksi Mandiri Universitas Brawijaya 2018. Setelah dua kali gagal login, hati dan pikiran saya sudah tidak karuan.

Saya mengajak Ibu untuk menemani saya login yang ketiga kalinya. Saya baca perlahan kata-kata yang tertulis di layar laptop. Diterima di FISIP - Hubungan Internasional. Saya baca berulang-ulang. Ibu saya sudah menangis memeluk saya. Kutunaikan sujud syukur ketika sadar bahwa saya benar-benar sudah diterima. Saya diterima. Akhirnya.

Ternyata tuhan Yang Maha Esa masih memberikan saya pintu lain. Sebuah kesempatan yang saya beranikan untuk ambil. Suatu kesempatan yang teramat sangat berharga. Kesempatan yang akan membawa perubahan kedalam hidup saya. Ternyata tuhan punya rencana lain. Rencana yang sangat tidak terbayangkan sebelumnya. Menjalani kehidupan di perantauan.

-to be continued...

Sabtu, 19 Januari 2019

Hello pre-World

Halo, saya Amalia Permata Insani, yang di unggahan sebelumnya menuliskan sudah memasuki umur 17 tahun. Mengejutkannya, saya saat ini sudah memasuki umur 20 tahun. Time flies so fast enough that i dont realize how i use my life.

Semangat kuliah di HI UB, jangan lupa realisasikan lagumu yang sudah kamu tulis, pertahankan ip mu, forgive yourself for what happened in the past, be the good person, ayo berubah, tetap kuat, tetap sehat!

With love, the almost 20 me. 

Rabu, 25 Januari 2017

Hujan Turun di Atap Rumah #1

Sepasang mata menatap birunya langit dalam heningnya sore. Sempat terbesit di benaknya apakah semuanya akan berakhir begitu saja. Ternyata tidak. Semuanya terus berjalan. Dalam setiap detik, setiap menit, setiap jam. Selalu saja terus berjalan tanpa henti. Dijejakkan kakinya untuk yang pertama kali setelah terdiam bermenit-menit di depan sebuah pintu rumah. Akhirnya....

"Aku pulang...."

Kata yang diucapannya dengan letih dijawab oleh sunyinya ruangan gelap. Dihidupkannya saklar lampu dan lalu menatap menyusuri seluruh ruangan. Sepi. Ia berjalan menuju kamarnya meletakkan semua barang bawaan dan kemudian merebahkan badannya ke atas kasur.

"Lama gak ketemu. Kenapa kamu pulang?"

"Apa urusanmu?"

Dijawabnya dengan tawa oleh seseorang didepan pintu kamar. Wajahnya tidak ada yang berubah sedikit pun. Rasanya ingin kutinju wajah tertawanya itu. Bahkan setelah tiga tahun pun tidak ada yang berubah baik dia ataupun rumah ini. Kutenggelamkan wajahku ke bantal. Mencoba untuk meluangkan waktu bagi pria didepan pintu itu pergi. Kupejamkan mataku. Rasanya tiga tahun ini berat sekali. Hingga akhirnya mataku sudah tidak kuat lagi untuk membuka dan akhirnya aku pun tertidur pulas.

"Hahaha, udah tidur. Setelah tiga tahun kamu pergi dan datang cuma untuk tidur?"

Jumat, 20 Januari 2017

Am I Worth It?

Sekarang saya sudah berumur 17 tahun.

Katanya anak-anak jaman ini adalah generasi 'millenial'. Persetan. Sebenarnya bukan itu yang terpenting sekarang. Mau anak generasi millenial atau bukan. Hanya dirasuki oleh arwah-arwah teknologi terkini. Manusia sudah berubah. Bahkan sang penulis di laman ini juga berubah. Keapatisan manusia, keserakahan manusia, keegoisan manusia.

"Am I worth it?"

Mencibir. Atau istilah keren jaman sekarang yaitu 'bacot'. Menggulingkan. Merendahkan. Menjatuhkan. Menjegal. Sinis. Menyindir. Bukan urusanku. Luweh. Ra peduli. Kowe sopo. Sangat familiar ditelinga masyarakat saat ini. Tidak di dunia nyata ataupun dunia maya. Walau kebanyakan di dunia maya. Kejahatan manusia sudah bertambah. Sangat mudah untuk mengahncurkan orang lain. Hahaha.

Siapa tahu orang yang aku/kamu/kalian/kita cibir saat ini sedang menangis. Tak tahu siapa atau dimana ia akan bersandar. Kehilangan arah. Menangis. Menangis. Menangis.

Siapa tahu orang yang aku/kamu/kalian/kita bacotin saat ini sedang menangis. Ingin mati. Tak tahu harus bagaimana. Lelah. Menangis. Menangis. Menangis..

Siapa tahu orang yang aku/kamu/kalian/kita tak pernah pedulikan sedang menangis. Menanti teman. Hanya tercenung dengan layar hp/laptop. Tertawa bersama teknologi. Berkomentar dengan teknologi. Hanya bertemaan dengan teknologi.

"You think you know? BUT YOU DON'T."

Dimanakah kepedulian berada?

"Gws yaa..."
"Gimana sih jadi pelajar yang baik malah terjebak dalam kehidupan bebas"
"Gini nih anak jaman sekarang gak tau aturan."

Ya kepedulian aku/kamu/kalian/kita saat ini ada di laman komentar. Bales chat. Dan seperti saat ini, di post di blog. Hahaha.

Just one word from you could change someone life. Just one act from you could change someone life. (dalam hal yang baik lho ya hehehe)

"Kamu kenapa?"
"Kamu ada masalah?"
"Kalo mau curhat boleh lho"
"Kamu sakit?"
"Aku anter ke uks po? atau aku ambilin obat?"

Those are some word that I never heard again. Or even in my own mouth.

Ternyata ketidakpedulian tidak hanya terbatas pada generasi saja. Apa aku/kamu/kalian/kita sudah peduli?

Tetapi kemanusiaan belum berakhir:)

Penulis: Amalia Permata Insani
Ini hanya postingan tentang perasaan saya saat ini. Bukan bermaksud untuk menyindir seseorang, suatu kelompok/golongan. Tetap semangat dalam menjalani hari-hari dan tetap tersenyum:)

Senin, 22 Februari 2016

I'm not okay.


Aku tidak baik-baik saja.
Hancurkan saja sampai halus. Jangan cuma setengah-setengah.